Anak Jalanan Kian Bertambah: Sebuah Cermin Retak dan Pertanyaan untuk Negara
Setiap sudut kota, di bawah jembatan layang, atau di persimpangan jalan, bayangan-bayangan kecil itu semakin sering terlihat. Anak-anak yang seharusnya bermain, belajar, dan merasakan kehangatan keluarga, kini justru berjuang demi sesuap nasi di kerasnya jalanan. Fenomena meningkatnya jumlah anak jalanan bukan sekadar statistik, melainkan sebuah cermin retak yang menampakkan kerapuhan sistem sosial dan ekonomi kita, sekaligus memunculkan pertanyaan mendasar: Di mana negara hadir?
Kehidupan mereka adalah potret nyata dari kemiskinan struktural, disfungsi keluarga, minimnya akses pendidikan dan kesehatan, serta urbanisasi yang tak terkendali. Mereka rentan terhadap eksploitasi, kekerasan, dan terperangkap dalam lingkaran setan yang sulit diputus. Masa depan mereka terancam, dan potensi emas yang seharusnya dimiliki bangsa ini pun terbuang sia-sia.
Maka, pertanyaan besar muncul: Di mana negara? UUD 1945 jelas mengamanatkan bahwa "fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara." Berbagai regulasi dan program perlindungan anak telah disusun. Namun, realitas di lapangan seringkali jauh panggang dari api. Program yang parsial, kurangnya data komprehensif, koordinasi antarlembaga yang lemah, serta penegakan hukum yang belum tegas terhadap eksploitasi anak, seolah menjadi lubang-lubang besar yang membuat anak-anak ini terus jatuh.
Negara tidak boleh hanya hadir reaktif, sekadar melakukan penertiban atau penampungan sementara. Kehadiran negara haruslah proaktif dan holistik. Ini berarti memastikan jaring pengaman sosial yang kuat bagi keluarga miskin, menyediakan akses pendidikan gratis dan berkualitas, layanan kesehatan yang mudah dijangkau, serta program pemberdayaan ekonomi keluarga agar mereka tidak terpaksa melepas anaknya ke jalanan. Lebih dari itu, negara harus menjadi garda terdepan dalam mencegah eksploitasi dan memberikan perlindungan hukum yang tanpa kompromi.
Membiarkan fenomena ini terus berlanjut berarti membiarkan generasi potensial hilang dan menumpuk bom waktu masalah sosial di masa depan. Ini bukan hanya masalah sosial, melainkan juga kegagalan moral dan politik. Waktu untuk merenung telah usai. Negara harus hadir secara nyata, komprehensif, dan berkelanjutan. Masa depan bangsa ini tercermin dari bagaimana kita memperlakukan anak-anaknya yang paling rentan.
