Ekonomi Digital: Melaju Pesat, Memperlebar Jurang Sosial?
Ekonomi digital telah menjadi lokomotif baru pertumbuhan global, menjanjikan inovasi, efisiensi, dan peluang tak terbatas. Dari e-commerce hingga fintech, dari startup disruptif hingga gig economy, sektor ini melaju kencang, menciptakan kekayaan dan kemudahan yang belum pernah ada. Namun, di balik gemerlapnya kemajuan ini, tersimpan bayangan gelap yang kian memanjang: melebarnya jurang ketimpangan sosial.
Janji Inovasi, Realitas Kesenjangan
Pertumbuhan ekonomi digital didorong oleh teknologi canggih dan modal besar, seringkali menghasilkan model bisnis "pemenang mengambil semua" (winner-takes-all). Platform-platform raksasa mendominasi pasar, sementara segelintir pendiri dan investor awal meraup keuntungan fantastis. Ini menciptakan konsentrasi kekayaan yang signifikan, jauh melampaui sektor ekonomi tradisional.
Di sisi lain, jutaan pekerja terintegrasi dalam ekosistem digital, namun tidak selalu dengan keuntungan yang setara. Model gig economy, misalnya, menawarkan fleksibilitas tetapi seringkali tanpa jaminan sosial, tunjangan kesehatan, atau perlindungan kerja yang memadai, membuat pekerja rentan terhadap fluktuasi pasar dan upah rendah.
Mekanisme Melebarnya Ketimpangan:
- Kesenjangan Akses dan Literasi Digital: Tidak semua lapisan masyarakat memiliki akses setara ke internet cepat, perangkat memadai, apalagi literasi digital yang mumpuni. Mereka yang tertinggal dalam hal ini secara otomatis terpinggirkan dari peluang ekonomi digital, baik sebagai produsen maupun konsumen.
- Kesenjangan Keterampilan (Skill Gap): Ekonomi digital sangat haus akan talenta dengan keterampilan khusus seperti pengembang perangkat lunak, analis data, atau ahli AI. Permintaan tinggi ini mendorong upah mereka meroket. Sebaliknya, pekerjaan rutin yang bisa diotomatisasi semakin terancam, menekan upah pekerja dengan keterampilan rendah hingga menengah.
- Konsentrasi Modal dan Kekayaan: Sifat ekonomi digital yang membutuhkan investasi besar di awal dan skala cepat cenderung menguntungkan pihak dengan akses modal. Ini mempercepat akumulasi kekayaan di tangan segelintir elit, sementara sebagian besar masyarakat hanya menjadi pengguna atau pekerja parsial.
- Fleksibilitas Semu dalam Gig Economy: Meskipun menawarkan kebebasan waktu, banyak pekerja gig menghadapi persaingan ketat, pendapatan yang tidak stabil, dan minimnya perlindungan sosial. Mereka seringkali terjebak dalam lingkaran pekerjaan berupah rendah tanpa jalur karier yang jelas.
Membangun Ekonomi Digital yang Inklusif
Ketimpangan yang membesar bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga sosial. Ia bisa memicu fragmentasi sosial, ketidakpuasan, dan bahkan instabilitas. Untuk memastikan ekonomi digital benar-benar menjadi agen kemakmuran inklusif, diperlukan upaya kolektif:
- Pemerintah: Harus merumuskan kebijakan yang mendorong akses digital merata, investasi masif pada pendidikan dan pelatihan keterampilan digital yang relevan, serta regulasi yang melindungi hak-hak pekerja gig dan mencegah monopoli.
- Sektor Swasta: Perlu berperan aktif dalam menciptakan lapangan kerja yang layak, berinvestasi pada pengembangan karyawan, dan berkontribusi pada solusi ketimpangan.
- Masyarakat: Perlu proaktif dalam meningkatkan literasi dan keterampilan digital mereka agar tidak tertinggal.
Ekonomi digital adalah kekuatan transformatif yang tak terelakkan. Namun, jika dibiarkan berjalan tanpa intervensi dan visi yang inklusif, ia berisiko menciptakan masyarakat yang lebih kaya di puncak, namun dengan jurang sosial yang kian dalam di bawahnya. Tantangan terbesar kita adalah memastikan bahwa pesatnya laju digitalisasi membawa manfaat bagi semua, bukan hanya segelintir.
