Dinding Lapuk, Asa Tergadai: Siapa Penanggung Jawab Sekolah Rusak yang Lupa?
Di tengah gemuruh pembangunan dan ambisi Indonesia Emas, realitas pahit masih membayangi ribuan anak bangsa: belajar di bawah atap yang bocor, dinding yang retak, dan lantai yang nyaris ambrol. Sekolah-sekolah rusak tak kunjung diperbaiki bukan lagi sekadar berita, melainkan potret kegagalan sistematis yang menggerus harapan dan masa depan generasi. Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang harus mengangkat tanggung jawab ini?
Skala Masalah yang Mengerikan
Data menunjukkan ribuan ruang kelas di seluruh Indonesia berada dalam kondisi rusak ringan hingga berat. Ini bukan hanya soal estetika, melainkan ancaman nyata bagi keselamatan siswa dan guru. Lingkungan belajar yang tidak layak secara langsung mempengaruhi kualitas pendidikan, menurunkan motivasi, dan memperlebar kesenjangan akses pendidikan yang berkualitas. Anak-anak yang seharusnya fokus mengejar ilmu, justru dibayangi ketakutan akan runtuhnya gedung.
Rantai Tanggung Jawab yang Terputus
Mencari penanggung jawab bukanlah perkara menunjuk satu jari, melainkan menelisik rantai birokrasi dan kebijakan yang seringkali terputus:
- Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota & Provinsi): Mereka adalah garda terdepan. Dinas Pendidikan di tingkat ini memiliki kewenangan perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan perbaikan infrastruktur sekolah di wilayahnya. Alokasi APBD untuk pendidikan, termasuk rehabilitasi sekolah, seharusnya menjadi prioritas utama.
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (serta Ristek): Sebagai pembuat kebijakan dan penyalur dana alokasi khusus (DAK) pendidikan, Kementerian memiliki peran strategis. Mereka bertanggung jawab merumuskan standar bangunan sekolah, mengawasi implementasi program perbaikan, dan memastikan dana tersalurkan tepat sasaran.
- DPRD dan DPR RI: Lembaga legislatif memiliki fungsi pengawasan dan penganggaran. Mereka harus memastikan alokasi anggaran yang cukup untuk perbaikan sekolah, serta mengawasi kinerja pemerintah daerah dan kementerian dalam merealisasikannya.
- Komite Sekolah dan Kepala Sekolah: Sebagai pihak yang paling dekat dengan masalah, mereka bertugas melaporkan kondisi kerusakan, mengajukan proposal perbaikan, dan menjadi jembatan komunikasi antara sekolah dengan pihak pemerintah.
- Masyarakat dan Orang Tua: Peran aktif masyarakat, melalui pengawasan, pelaporan, dan bahkan desakan, sangat krusial. Suara kolektif bisa menjadi tekanan kuat bagi pemerintah untuk bertindak.
Mengapa Tak Kunjung Diperbaiki?
Beberapa faktor sering menjadi biang keladi:
- Keterbatasan Anggaran: Sering menjadi alasan klasik, padahal efisiensi dan prioritas anggaran bisa dioptimalkan.
- Birokrasi yang Berbelit: Proses pengajuan, verifikasi, dan pencairan dana yang panjang dan rumit.
- Data yang Tidak Akurat: Kurangnya data kondisi sekolah yang terbarui dan terintegrasi menyulitkan perencanaan perbaikan.
- Kurangnya Political Will: Perbaikan infrastruktur sekolah seringkali kurang seksi dibandingkan proyek-proyek lain yang lebih terlihat secara politis.
- Indikasi Korupsi: Penyelewengan dana perbaikan sekolah juga tak jarang menjadi penyebab mangkraknya proyek.
Saatnya Bertindak, Bukan Berdalih
Sekolah rusak bukan sekadar bangunan lapuk, melainkan cerminan rapuhnya komitmen terhadap hak dasar anak atas pendidikan yang layak dan aman. Tanggung jawab ini adalah tanggung jawab kolektif. Pemerintah, dari pusat hingga daerah, harus menunjukkan political will yang kuat, menyederhanakan birokrasi, mengalokasikan anggaran yang memadai, dan memastikan transparansi. Masyarakat dan media harus terus mengawasi dan menyuarakan.
Masa depan bangsa ini dibangun di bangku-bangku sekolah. Jangan biarkan masa depan itu runtuh bersama dinding yang lapuk. Sudah saatnya kita menuntut pertanggungjawaban nyata, demi asa yang tak lagi tergadai.
