Jerat Digital, Suara Terancam: Dampak UU ITE pada Kebebasan Berekspresi
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) semula dirancang untuk menciptakan ruang digital yang aman dan tertib, melindungi masyarakat dari kejahatan siber, serta mengatur transaksi elektronik. Namun, seiring waktu, implementasinya kerap memicu kontroversi, terutama terkait potensi pembatasan bahkan pembungkaman kebebasan berekspresi di ranah daring.
Pasal Karet dan Iklim Ketakutan (Chilling Effect)
Masalah utama UU ITE terletak pada "pasal karet" yang multitafsir, seperti pasal mengenai pencemaran nama baik, fitnah, dan berita bohong. Definisi yang kabur ini membuka celah bagi penafsiran subjektif dan penyalahgunaan. Akibatnya, banyak individu, mulai dari jurnalis, aktivis, hingga warga biasa, terjerat kasus pidana hanya karena mengutarakan kritik, pandangan yang berbeda, atau bahkan sekadar mengeluh di media sosial.
Situasi ini menciptakan apa yang disebut sebagai chilling effect atau iklim ketakutan. Masyarakat cenderung melakukan self-censorship, menahan diri untuk tidak mengemukakan pendapat atau kritik yang dirasa sensitif, demi menghindari risiko pelaporan dan jerat hukum. Kebebasan berekspresi, yang seharusnya menjadi pilar demokrasi dan sarana kontrol sosial, menjadi terhambat.
Pembungkaman Kritik dan Pengikisan Demokrasi
Dampak paling nyata adalah pembungkaman kritik. Kasus-kasus kriminalisasi terhadap mereka yang mengkritik kebijakan pemerintah, perusahaan, atau figur publik, telah menjadi sorotan. Ini tidak hanya menghambat partisipasi publik dalam diskursus demokrasi, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi. Ketika suara kritis dibungkam, ruang dialog publik menyempit, dan potensi perbaikan atau inovasi pun terhalang.
Upaya Perbaikan dan Tantangan ke Depan
Pemerintah telah merevisi UU ITE melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU ITE, yang diharapkan dapat mengatasi beberapa pasal bermasalah. Ada upaya untuk memperjelas definisi, menekan potensi kriminalisasi, dan mengedepankan mediasi.
Meskipun demikian, tantangan tetap ada. Perlu definisi yang lebih presisi, parameter yang jelas, dan penegakan hukum yang tidak diskriminatif. Penting bagi aparat penegak hukum untuk memahami esensi kebebasan berekspresi sebagai hak asasi, bukan ancaman.
Keseimbangan yang Krusial
UU ITE, di satu sisi adalah instrumen penting untuk menjaga ketertiban dan keamanan digital. Namun, di sisi lain, ia berpotensi menjadi belenggu bagi kebebasan berekspresi jika tidak diterapkan secara hati-hati dan proporsional. Mencari titik keseimbangan antara perlindungan hukum dan hak asasi adalah pekerjaan berkelanjutan yang membutuhkan komitmen bersama dari pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat untuk memastikan ruang digital kita tetap aman, tertib, dan demokratis.
