Kartu Prakerja: Antara Janji dan Realita Pengurangan Pengangguran
Pengangguran merupakan tantangan struktural yang terus menghantui banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam upaya merespons isu ini, pemerintah meluncurkan program Kartu Prakerja, sebuah inisiatif strategis yang menggabungkan pelatihan kompetensi kerja dan kewirausahaan berbasis digital dengan insentif finansial. Namun, sejauh mana program ini efektif dalam mencapai tujuan utamanya, yaitu mengurangi angka pengangguran?
Latar Belakang dan Visi Prakerja
Kartu Prakerja dirancang sebagai program semi-bantuan sosial yang menyasar pencari kerja, korban PHK, hingga pekerja yang ingin meningkatkan keterampilan (reskilling/upskilling). Visi utamanya adalah meningkatkan daya saing angkatan kerja Indonesia melalui peningkatan kompetensi, literasi digital, dan pembekalan kewirausahaan, dengan harapan peserta dapat segera terserap di pasar kerja atau menciptakan lapangan kerja sendiri.
Dampak Positif: Aksesibilitas dan Peningkatan Kapasitas
Dari sisi positif, Kartu Prakerja berhasil mencapai jangkauan yang luas, melampaui batas geografis dengan memanfaatkan platform digital. Jutaan masyarakat dari berbagai latar belakang, termasuk di daerah terpencil, kini memiliki akses ke beragam pelatihan yang sebelumnya sulit dijangkau. Program ini juga secara tidak langsung mendorong literasi digital peserta dan memperkenalkan model pembelajaran daring. Bagi sebagian peserta, pelatihan ini terbukti meningkatkan kepercayaan diri, membuka wawasan baru tentang peluang kerja, bahkan ada yang berhasil mendapatkan pekerjaan atau memulai usaha setelah menyelesaikan program. Ini menunjukkan adanya potensi peningkatan kapasitas individu yang signifikan.
Tantangan dan Area Perbaikan: Evaluasi Kritis
Meskipun memiliki dampak positif, efektivitas Kartu Prakerja dalam secara langsung mengurangi angka pengangguran secara makro masih menjadi objek perdebatan dan membutuhkan evaluasi mendalam:
- Kualitas dan Relevansi Pelatihan: Tidak semua pelatihan dinilai relevan dengan kebutuhan pasar kerja saat ini. Beberapa pelatihan cenderung bersifat umum atau kurang mendalam, sehingga tidak memberikan keunggulan kompetitif yang signifikan bagi peserta.
- Konversi ke Penempatan Kerja: Tantangan terbesar terletak pada konversi sertifikat pelatihan menjadi penempatan kerja yang signifikan. Insentif uang tunai pasca-pelatihan terkadang lebih menarik daripada esensi pelatihan itu sendiri, mengubah persepsi program menjadi sekadar bantuan sosial.
- Efisiensi Anggaran: Biaya platform dan insentif yang besar memerlukan evaluasi efisiensi anggaran untuk memastikan setiap rupiah benar-benar berkontribusi pada peningkatan keterampilan yang relevan dan penyerapan tenaga kerja.
- Data dan Metrik Dampak: Diperlukan metrik yang lebih kuat dan sistematis untuk mengukur secara kuantitatif sejauh mana peserta yang menyelesaikan program benar-benar mendapatkan pekerjaan atau meningkatkan pendapatan secara signifikan, bukan hanya menyelesaikan pelatihan.
- Sinergi dengan Industri: Kurangnya sinergi langsung antara penyedia pelatihan dengan kebutuhan riil industri seringkali mengakibatkan ketidaksesuaian antara keterampilan yang diajarkan dan yang dibutuhkan pasar.
Kesimpulan: Bukan Peluru Perak, Melainkan Bagian dari Solusi
Kartu Prakerja bukanlah "peluru perak" yang dapat menghilangkan pengangguran dalam semalam. Perannya lebih sebagai fasilitator peningkatan kapasitas dan jembatan menuju peluang kerja. Untuk memaksimalkan dampaknya dalam mengurangi pengangguran, program ini harus terus beradaptasi dan berinovasi. Ini mencakup peningkatan kurasi kualitas pelatihan, fokus pada pelatihan yang berorientasi pada kebutuhan industri masa depan, penguatan mekanisme job matching, serta transparansi dan evaluasi berbasis data yang berkelanjutan.
Dengan perbaikan yang terarah, Kartu Prakerja memiliki potensi besar untuk menjadi pilar penting dalam membangun angkatan kerja Indonesia yang lebih kompeten dan adaptif, sehingga pada akhirnya dapat berkontribusi lebih signifikan pada penurunan angka pengangguran.