Implementasi Undang-Undang ITE dalam Kebebasan Berekspresi

UU ITE: Pedang Bermata Dua Kebebasan Digital

Era digital telah membuka gerbang tak terbatas bagi pertukaran informasi dan ekspresi. Media sosial menjadi mimbar universal, memungkinkan setiap individu menyuarakan pendapat, kritik, atau bahkan keluh kesahnya. Namun, di tengah euforia kebebasan ini, hadir Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai regulator utama, yang implementasinya kerap memicu perdebatan sengit mengenai batas-batas kebebasan berekspresi.

Niat Mulia yang Bersimpangan

UU ITE sejatinya lahir dengan niat mulia: mengatur transaksi elektronik, memberantas kejahatan siber seperti penipuan daring, penyebaran pornografi, hingga hoaks yang meresahkan. Ia diharapkan menciptakan ruang digital yang aman dan tertib. Namun, sejumlah pasalnya, terutama yang terkait pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat 3) dan ujaran kebencian (Pasal 28 ayat 2), dikenal sebagai ‘pasal karet’ karena sifatnya yang multitafsir dan rentan disalahgunakan.

Efek Gentar dan Kriminalisasi Ekspresi

Implementasi pasal-pasal ini telah menciptakan "efek gentar" (chilling effect) yang signifikan. Masyarakat, termasuk aktivis, jurnalis, hingga warga biasa, menjadi ragu dan cenderung melakukan swasensor (self-censorship) sebelum mengunggah konten. Ketakutan akan jeratan hukum, denda besar, atau ancaman pidana penjara, kerap membungkam kritik yang sejatinya konstruktif atau pendapat yang sah dalam iklim demokrasi.

Banyak kasus menunjukkan bagaimana pasal-pasal ini digunakan untuk mengkriminalisasi ekspresi yang dianggap menyerang individu atau institusi, bahkan jika kritik tersebut didasari fakta atau niat baik. Proses hukum yang panjang dan sanksi yang tidak proporsional seringkali dirasakan sebagai upaya membungkam suara kritis, alih-alih menegakkan keadilan atau melindungi reputasi.

Mencari Titik Keseimbangan

Tentu, ketertiban di ruang digital adalah keniscayaan. Penyebaran hoaks yang membahayakan, penipuan siber, atau ujaran kebencian yang memicu kekerasan adalah ancaman nyata yang harus ditindak. Namun, perlindungan terhadap hak asasi fundamental untuk berekspresi dan berpendapat tidak boleh dikorbankan.

Tantangan besar kita adalah menemukan titik keseimbangan antara menjaga ketertiban digital dan menjamin kebebasan berekspresi. Revisi substantif terhadap pasal-pasal yang multitafsir, interpretasi yang lebih sempit dan humanis oleh aparat penegak hukum, serta penegasan prinsip proporsionalitas dalam setiap kasus, menjadi krusial. Edukasi publik tentang etika digital dan hak-hak berekspresi juga perlu digalakkan.

Pada akhirnya, implementasi UU ITE haruslah menjadi alat untuk melindungi warga dari kejahatan siber, bukan menjadi ancaman bagi kebebasan mereka untuk bersuara. Mewujudkan ruang digital yang aman, informatif, namun tetap demokratis dan menjunjung tinggi kebebasan berekspresi adalah pekerjaan rumah kita bersama.

Exit mobile version